Selasa, 11 Juni 2013

PENGENALAN SISTEM CASE-MIX DI INDONESIA


Sistem Case-Mix adalah klasifikasi episode perawatan pasien yang dibuat untuk mengelompokkan kelas-kelas yang relatif homogen dengan memperhatikan sumber daya yang digunakan dan berisi pasien dengan karakteristik klinis yang serupa(George Palmer, Beth Reid). Dapat diartikan pula bahwa Case-Mix merupakan suatu format klasifikasi yang berisikan kombinasi beberapa jenis penyakit dan tindakan pelayanan di suatu rumah sakit dengan pembiayaan yang dikaitkan dengan mutu dan efektivitas pelayanan. Case-mix merupakan metode pembayaran Prospective Payment.


Perbedaan FFS dengan Prospective payment
 Tujuan dari sistem pembiayaan pelayanan kesehatan antara lain :
1.      Mendorong peningkatan mutu
2.      Mendorong layanan berorientasi pasien
3.      Mendorong efisiensi
4.      Tidak memberikan reward thd provider yang melakukan overtreatment.
5.      Mendorong untuk pelayanan tim (koordinasi/kerjasama antar provider)

Metode Pembayaran
  1. Retrospective adalah sistem atau metode pembayaran yang dilakukan setelah pelayanan kesehatan diberikan. Dengan kata lain Fee for service yang mencakup payment per itemised bill dan payment per diem
  2. Prospective adalah sistem atau metode pembayaran yang dilakukan atau disetujui sebelum pelayanan tersebut diberikan. Contohnya Capitation payment, Case-mix payment, dll.
Case-Mix pertama kali dikembangkan di Amerika Serikat pada tahun 1980. Sebelum masuk ke Indonesia, sistem Case-Mix telah diterapkan di banyak negara, seperti Amerika Serikat, Jepang, Thailand, Australia, serta Malaysia. Sistem Case-Mix Indonesia adalah adaptasi dari sistem serupa yang diterapkan di Malaysia. Dalam hal ini, Depkes RI menggandeng Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), sebagai partner untuk merumuskan sistem Case-Mix yang paling sesuai untuk Indonesia.
Pengertian INA CBGs
INA CBGs merupakan Sistem Case-mix yang di Implementasikan di Indonesia pada saat ini. INA CBGS dijalankan dengan menggunakan UNU-Grouper dari UNU-IIGH (United Nation University Internasional Institute for Global Health). INA CBGs dibuat dengan dasar Pengelompokan menggunakan :
  1. ICD – 10 Untuk Diagnosa (14.500 kode) 
  2. ICD – 9 CM Untuk Prosedur/Tindakan (7.500 kode)
  3. Dikelompokkan menjadi menjadi 1077 kode group INA-CBG (789 kode rawat inap dan 288 kode rawat jalan)
Dasar hukum implementasi INA CBGs di indonesia
  1. UU nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
  2. UU nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
  3. UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
  4. UU Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit
  5. SK Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Nomor HK.03.05/I/589/2011 Tentang Kelompok Kerja Centre for Casemix tahun 2011

Sifat UNU CASE-MIX Gouper
  1. Universal Grouper artinya mencakup seluruh jenis perawatan pasien
  2. Dynamic artinya total jumlah CBGs bisa disetting berdasarkan kebutuhan sebuah Negara
  3. dvance Grouper artinya bisa digunakan jika terdapat perubahan dalam pengkodean diagnosa dan prosedur dengan system klasifikasi penyakit baru ICD-11 dan prosedur dalam klasifikasi ICHI (International Clasification of Health Intervention).
Komponen Case-Mix
  1. Coding
  2. Costing
  3. Clinical Pathway
  4. Tekhnologi Informasi
Alur INA CBGs Di Rumah Sakit
Alur INA CBGs di Rumah Sakit
  
Peran Dokter & Koder dalam INA CBGs
  1. DOKTER
  • menegakkan dan menuliskan diagnosis primer dan sekunder (bila ada) sesuai dengan ICD 10
  • menulis seluruh prosedur/tindakan yang telah dilaksanakan sesuai dengan ICD – 9 – CM
  • membuat resume medis pasien secara lengkap dan jelas selama pasien dirawat di rumah sakit.
     2.      KODER
melakukan kodifikasi dari diagnosis dan prosedur/tindakan yang diisi oleh dokter yang merawat pasien sesuai dengan ICD 10 untuk diagnosa dan ICD 9 CM untuk prosedur/tindakan

Dalam Pengkodean pondasi utamanya adalah rekam medis. Tanpa dokumentasi rekam medis pengkodean tidak bisa dilakukan. Peran dokter dalam hal ini adalah mengisi kelengkapan baik resume medis atau pendokumentasian lainya dalam rekam medis. Di samping itu faktor kejelasan dan keterbacaan dari diagnosa dokter pada dokumen rekam medis sangat menentukan keakuratan dan ketepatan proses pengkodean. Sama halnya seorang koder haruslah juga untuk berkomunikasi dengan dokter dimana nantinya menemukan diagnosa dari dokter yang kurang jelas dan kurang terbaca.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar